7 Key Takeaway dari Tada Loyalty Summit 2025

Topics:

Jun 26, 2025 • 4 min read

Key takeaway Tada Loyalty Summit 2025

Pada 22 Mei 2025, Tada kembali menggelar Loyalty Summit; sebuah acara dua tahunan yang mempertemukan para business leader di bidang Sales, Marketing, CRM, Trade, dan Customer Engagement. 

Tahun ini, lebih dari 1.000 peserta hadir dan mengikuti satu hari penuh sesi inspiratif, networking berkualitas, dan pembahasan strategi loyalty yang relevan dengan tantangan bisnis saat ini. Dengan rangkaian agenda seperti keynote, diskusi panel, hingga fireside chat, berikut 7 insight penting yang kami rangkum dari Loyalty Summit 2025.

Namun sebelum masuk ke pembahasan tersebut, kami ingin ucapkan terima kasih kepada para sponsor yang telah mendukung acara ini:

    • Gold Sponsor: Red Hat, Pluxee, dan Braze
    • Silver Sponsor: Zoho, Qiscus, Giftee, Mimin, INTIKOM, BOSNET, Infobip, Mekari, Sprint Asia, dan ADA

1. Loyalty Itu Dibangun, Bukan Dibeli

CEO Tada, Antonius Taufan, membuka acara dengan pernyataan yang langsung mengena: kebanyakan program loyalty gagal bukan karena teknologinya, tapi karena desainnya yang tidak tepat.

Dengan pengalaman lebih dari 10 tahun, ia mengungkapkan bahwa 77% program loyalty tidak bertahan lebih dari dua tahun. Kenapa? Karena banyak brand masih mengandalkan sistem poin, bukan mendorong customer behavior yang konsisten dan bernilai komersial.

Ia mencontohkan brand besar seperti Starbucks, Amazon, dan Shopee yang berhasil karena fokus pada membentuk kebiasaan, bukan hanya memberi reward. Program loyalty yang sukses harus relevan, minim friksi, dan membuat pelanggan merasa ingin terus aktif engage.

2. Diskon Melatih Ketidaksetiaan, Koneksi Membangun Loyalitas

Yongky Susilo, expert di dunia retail, menyampaikan sebuah statement yang powerful: “Diskon itu melatih ketidaksetiaan.” Menurutnya, 95% keputusan pembelian dibuat secara emosional. Artinya, loyalty sejati datang dari koneksi, bukan sekadar promo.

Brand yang ingin bertahan bukan lagi hanya bersaing harga, tapi menawarkan pengalaman dan nilai yang terasa di hati. Di era brand storytelling dan experience economy, koneksi jauh lebih penting dari potongan harga.

3. Setiap Stakeholder Butuh Pendekatan Loyalty yang Berbeda

Dalam sesi Driving Loyalty Across Channels, Enjelita Jahja (President Director, Castrol Indonesia) membagikan pengalamannya membangun loyalitas untuk ekosistem bisnis yang kompleks: mulai dari montir bengkel, pemilik toko, sales advisor, hingga end customer.

Pesannya jelas: program loyalty tidak bisa disamaratakan. Setiap stakeholder punya kebutuhan, ekspektasi, dan tingkat engagement yang berbeda. Yang relevan untuk montir belum tentu cocok untuk distributor. Dan di sinilah kuncinya: program loyalty yang berhasil dibangun dari empati; paham siapa audiens kita, dan apa yang mereka benar-benar butuhkan.

4. WhatsApp Menjadi Channel Promising untuk Bangun Engagement

Aldo Rambie dari Meta membagikan data yang menarik: lebih dari satu miliar orang berkirim pesan ke bisnis lewat aplikasi chat setiap minggu. Artinya, platform seperti WhatsApp bukan lagi “nice to have” tapi sudah menjadi “must have”.

Pelanggan saat ini ingin ngobrol, bukan hanya dikirimi blast promo. Mereka mau respons cepat, personal, dan relevan. WhatsApp bisa jadi jembatan langsung antara brand dan pelanggan. Dari edukasi, reminder poin, sampai tukar poin ke reward; all in one conversation.

5. Program Loyalty yang Menyatu dalam Rutinitas

Untuk industri keuangan seperti bank dan multifinance, customer experience adalah a real battleground. Hal ini disampaikan oleh Suparta Sarkawi (SVP UOB) dan Tania Endah Budhi (SVP Adira Finance). Menurut mereka, loyalty program yang efektif justru terasa tidak seperti program sama sekali.

Program loyalty terbaik hadir tanpa disadari; misalnya lewat manfaat seperti bayar tagihan sambil mengumpulkan poin, belanja gratis, atau akses layanan eksklusif yang menyatu dalam keseharian.

Momen-momen kecil yang dipersonalisasi inilah yang membuat pelanggan merasa dihargai dan hubungan yang terbangun tidak lagi sekadar transaksional, tapi emosional. Loyalty terasa effortless, tapi impactful.

6. Eksekusi Lebih Penting dari Sekadar Strategi

Adrian Baskoro, route-to-market strategist, membuka sesinya dengan kalimat yang powerful: “Execute, don’t excuse”. Menurutnya, strategi adalah hal penting, tapi jika tidak dieksekusi dengan benar, hasilnya nol.

Ia menekankan bahwa personalisasi, omnichannel journey, dan gamifikasi bukan lagi fitur tambahan; tapi jadi standar baru dalam membangun loyal customer.

Adrian juga mengingatkan bahaya terlalu sibuk memantau kompetitor. Saat perusahaan terlalu fokus ke pesaing, mereka jadi reaktif. Sebaliknya, saat fokus diarahkan ke pelanggan sendiri, ruang inovasi terbuka lebar. Inilah mindset yang dibutuhkan untuk bertumbuh secara sustainable

7. Loyalty di Tengah Channel Distribusi yang Terfragmentasi

Ruli Tobing, Managing Director PT Sinar Niaga Sejahtera (GarudaFood Distribution) menyoroti tantangan loyalty di sektor wholesale dan distribusi tradisional. Menurutnya, kunci utama bukan hanya menjangkau sebanyak mungkin outlet, tetapi membangun hubungan yang saling menguntungkan dalam jangka panjang.

Dengan perubahan cepat di sektor modern trade dan digital channel, brand dituntut lebih fleksibel. Strategi loyalty harus bisa adaptif, sesuai dengan ritme lapangan, dan tetap relevan di tengah perubahan yang konstan.

Profile

Nuraini

Content marketing specialist