Pernahkah Anda mendengar ungkapan viral ‘quiet quitting’?
Ini adalah tren baru dari TikTok yang populer di kalangan pekerja milenial dan Gen Z. Dengan lebih dari 11,3 juta tampilan untuk semua video dengan tagar #quietquitting di TikTok, quiet quitting telah menjadi diskusi hangat akhir-akhir ini.
Zaid, musisi asal New York Zaid adalah yang pertama kali mencetuskan ide mengenai quiet quitting di video TikToknya. Dia menjelaskannya hal ini sebagai “kamu tetap melakukan pekerjaan seperti biasa, namun tidak lagi mendukung mentalitas hustle culture yang menjadikan seseorang hidup untuk sepenuhnya bekerja.”
Pembahasan dalam video tersebut tampaknya juga mengena di hati pekerja global karena dalam waktu singkat hashtag #quietquitting bermunculan dengan berbagai interpretasi mengenai ‘apa arti quiet quitting’ untuk mereka sebagai seorang pekerja.
Jadi, Apa Sebenarnya Quiet Quitting Itu?
Meskipun istilah ini mencakup kata yang artinya 'berhenti', namun pada dasarnya karyawan tidak benar-benar berhenti atau resign dari pekerjaan mereka. Hal ini lebih tentang mereka hanya melakukan pekerjaan seperti yang ada dalam job desc dan tidak memaksakan diri untuk go above dan beyond dalam bekerja.
Quiet quitting juga dapat diartikan sebagai berhenti bekerja di luar jam kerja yang seharusnya dan tak lagi menempatkan produktivitas tanpa batas di atas wellbeing mereka.
Quiet quitting dapat mengurangi tingkat stres saat bekerja dan kemungkinan yang lebih kecil untuk terkena burn out karena mereka hanya bekerja sesuai apa yang disepakati di awal saat pertama kali di-hire dan menolak pekerjaan tambahan yang tidak sesuai dengan job desc yang disepakati.
Singkatnya, istilah ini dapat diartikan sebagai menetapkan batasan di tempat kerja dan membuang mentalitas hustle culture serta lebih fokus pada work life balance dan kesehatan mental.
Maria Kordowicz, PhD, associate professor di University of Nottingham dan direktur Centre for Interprofessional Education and Learning, menjelaskan quiet quitting sebagai “melakukan pekerjaan seperti yang sudah disepakati di awal tanpa membuat seseorang tak lagi punya waktu untuk dirinya sendiri”. Dia juga mengatakan jika peningkatan karyawan yang quiet quitting terkait dengan penurunan kepuasan kerja.
Statistik terbaru dari laporan Gallup Global Workplace tahun 2022 menunjukkan jika hanya 24% pekerja di Indonesia yang merasa engaged dalam pekerjaan mereka. Angka ini membuat pekerja Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 9 negara di Asia Tenggara dalam hal engagement saat bekerja.
Engagement rate yang rendah dapat disebabkan oleh perasaan tidak terhubung di tempat kerja, kelelahan dan kurangnya work life balance. Budaya perusahaan juga memainkan peran besar dalam menentukan sikap karyawan terhadap pekerjaan mereka.
Ed Zitron, pemilik bisnis konsultasi untuk perusahaan startup teknologi, percaya bahwa istilah ini berasal dari bagaimana bisnis mengeksploitasi karyawan mereka dan memanfaatkan budaya hustle dan overwork untuk meminta pekerja mereka melakukan pekerjaan yang lebih banyak tanpa dibarengi dengan kenaikan benefit maupun gaji.
Mengapa Karyawan Melakukan Quiet Quitting?
Ada banyak alasan mengapa karyawan menjadi quiet quitter di tempat kerja mereka. Beberapa alasan yang patut dicermati adalah sebagai berikut.
1. Mereka sudah merasa fed up
Salah satu alasan mengapa banyak karyawan memilih untuk melakukan quiet quitting adalah karena mereka sudah terlalu sering diberi pekerjaan di luar job desc yang disepakai tanpa adanya adjustment dalam hal gaji maupun benefit. Dan ketika karyawan tidak melihat kenaikan gaji, hal ini tentunya dapat menurunkan moral mereka.
Selain itu saat ini lebih banyak pekerja yang semakin peduli dengan kesehatan mental mereka, maka quiet quitting dipilih untuk tetap perform di tempat kerja dan juga menjaga dirinya tetap waras di tengah gempuran pekerjaan yang terasa tanpa henti.
2. Coping strategy
Maria Kordowicz menyebut jika leader dapat melihat kondisi ini sebagai semacam strategi coping yang mungkin digunakan pekerja untuk melindungi diri mereka dari kerja berlebihan tetapi tidak dibayar cukup yang akhirnya dapat menyebabkan stres dan burn out.
Melakukan bare minimum seperti yang ada di job desc maupun yang tertulis di KPI memungkinkan pekerja untuk dapat bersantai, menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman, merawat diri, olahraga dan banyak lainnya.
3. Kurangnya pengakuan dan penghargaan
Karyawan cenderung berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi sering kali mereka mengalami kurangnya pengakuan atas pekerjaan yang mereka lakukan sehingga dapat membuat mereka merasa kehilangan motivasi dan berubah menjadi queit quitter.
Quiet quitting pun dapat dipilih saat karyawan merasa kontribusi mereka tidak pernah diakui sebagai bagian dari achievement kolektif dalam perusahaan.
4. Perubahan prioritas
Leader juga perlu memasukkan perubahan prioritas karyawan jika mencari alasan kenapa banyak yang memilih menjadi quiet quitter.
Saat pandemi datang dan mereset seluruh persepsi kita tentang kehidupan, karyawan juga banyak yang mengubah budaya mereka dari yang dulunya mendukung hustle culture menjadi lebih lebih memprioritaskan kehidupan dan juga kesehatan mental mereka.
Namun bukan berarti karyawan membenci pekerjaan atau menganggap pekerjaan mereka sebagai hal yang tidak penting. Mereka hanya mengatur ulang prioritas mereka, melakukan yang terbaik selama jam kerja dan meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan setelah jam kerja berakhir untuk menikmati hidup.
Apa yang Dapat Dilakukan untuk Mencegah Quiet Quitting?
Leader atau manajer dapat mulai bertanya 'mengapa mereka melakukan hal ini’ dengan melihat kondisi di tempat kerja saat ini.
Karena tidak ada alasan universal mengapa seorang karyawan melakukan quiet quitting, Anda perlu memikirkan bagaimana mencegahnya terjadi di dalam organisasi Anda.
1. Rutin berkomunikasi
Leader atau manajer setiap tim atau divisi dapat memulai percakapan yang jujur dan terbuka dengan semua karyawan di tim tentang bagaimana leader dapat membantu mereka merasa lebih dihargai dan bahagia di tempat kerja.
Mulailah bertanya tentang apa yang mereka lakukan akhir-akhir ini, bagaimana perasaan mereka tentang beban kerja mereka saat ini, apakah ada hambatan saat bekerja, dan apa pun yang terkait dengan tugas mereka sehari-hari.
Dan ketika mereka membicarakannya secara terbuka, jangan hanya memberikan lip service untuk membuat mereka merasa baik untuk sementara waktu saja. Tunjukkan jika Anda siap mendukung mereka dengan melakukan tindakan nyata untuk membantu mereka mengatasi masalah apa pun dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Karena ketika mereka berpikir mereka mendapat dukungan dari leadernya, tetapi perbaikan tak kunjung terjadi, maka hanya masalah waktu sampai mereka menjadi quiet quitting dan resign untuk kesempatan yang lebih baik di perusahaan lain.
2. Tidak pelit memberikan penghargaan
Semua orang senang mendapatkan pengakuan di tempat kerja, tetapi tidak banyak karyawan yang mendapatkannya bahkan setelah melakukan sesuatu yang luar biasa di tempat kerja.
Penghargaan kepada karyawan tidak melulu harus dalam bentuk pemberian plakat atau trofi, namun sekedar memberi ucapan terima kasih dan kata-kata penyemangat kepada anggota tim dapat meningkatkan rasa bahagia saat bekerja yang dapat berdampak pada performa mereka saat bekerja.
3. Pikirkan kembali strategi retensi Anda
Saat ini, baik perusahaan maupun karyawan memiliki kekuatan yang sama untuk memilih apakah mereka talent yang cocok atau tempat yang pas untuk bekerja atau tidak. Jadi jika Anda menemukan jika tingkat turnover karyawan yang terus meningkat atau jumlah karyawan yang terlihat tidak begitu ambisius di perusahaan, ada baiknya pikirkan kembali strategi retensi karyawan Anda.
Selain peningkatan gaji atau benefit, karyawan juga ingin merasa dihargai atas apa yang mereka lakukan untuk berkontribusi pada kesuksesan perusahaan. Jadi pastikan value di perusahaan Anda memiliki ruang apresiasi yang positif untuk semua karyawan agar mereka merasa menjadi bagian dari tempat kerja.
4. Evaluasi hasil exit interview perusahaan Anda
Terakhir, exit interview memberi Anda banyak data tentang bagaimana rasanya bekerja di perusahaan Anda.
Karyawan cenderung memberikan umpan balik yang jujur dan terbuka ketika mereka meninggalkan perusahaan dan di sinilah para leader dapat mengidentifikasi hal-hal yang membuat karyawan tidak nyaman dan menjadi quiet quitter. Gunakan hasil exit interview di perusahaan Anda untuk meningkatkan strategi engagement dan retensi karyawan.
Apa yang Harus Dilakukan Para Leader Tentang Fenomena Quiet Quitting?
Meskipun istilah baru ini mungkin terdengar tidak menyenangkan bagi manajemen, namun hal ini perlu dilihat sebagai ada sesuatu yang salah dari core value bisnis Anda.
Hal ini karena quiet quitting dapat menjadi cara karyawan untuk set boundary antara tempat kerja dan kehidupan pribadi mereka. Perusahaan tidak dapat memaksa karyawan untuk selalu perform dan melakukan hal di luar job desc mereka tanpa memberikan reward atau benefit yang sesuai.
Belum lagi pandemi yang berangsur membaik saat ini masih menyisakan tingkat burnout yang tinggi di kalangan pekerja menurut laporan McKinsey di Mei 2022. Fenomena quiet quitting ini dapat menjadi hint bagi perusaaan untuk melakukan sesuatu untuk strategi employee retention mereka sebelum top talent mereka pindah ke perusahaan lain.
Manajer dan leader dapat melihat ini sebagai peluang untuk melibatkan kembali karyawan mereka dengan membiarkan mereka memprioritaskan list pekerjaan. Manajer juga perlu menyadari jika karyawan yang quiet quitting sekalipun tetap melakukan yang terbaik selama jam kerja dan menikmati kehidupan di luar jam kerja.
Sederhananya, ada sesuatu yang perlu diubah dari cara perusahaan engage dengan karyawannya. Beralih ke strategi engagement berbasis digital dapat menjadi salah satu solusi yang dapat dicoba karena saat ini ada banyak platform employee engagement yang memudahkan Anda untuk terus meningkatkan engagement dan motivasi karyawan dengan cara yang modern guna menciptakan employee experience yang lebih menyenangkan.
Tada menyediakan solusi game-changing untuk employee engagement untuk meretain top talent di perusahaan Anda dengan lebih efektif. Request demo kami sekarang untuk mengetahui bagaimana Tada membantu marketplace terbesar di Indonesia engage dengan 6.000+ karyawan mereka dengan lebih baik lagi.